Pernahkah
Anda berlomba untuk memperebutkan posisi sebagai muadzin di masjid?
Muadzin mungkin bukan orang nomor satu di sebuah masjid. Kedudukan itu
barangkali lebih tepat diberikan kepada imam. Namun Rasulullah pernah bersabda,
“Andai kata umatku tahu besarnya pahala mengumandangkan adzan,
barangkali setiap saat aku harus mengundinya di antara mereka”.
Untuk
menjadi muadzin biasanya diperlukan sejumlah syarat, antara lain: memiliki
suara yang lantang tetapi indah – sehingga orang suka mendengarnya, untuk
kemudian datang ke masjid; tidak dikenal sebagai orang yang fasik; dan tentu
saja bersedia datang lebih awal. Kalau orang biasa baru berangkat ke
masjid setelah mendengar suara adzan, tentunya bukan dia yang akan mengumandangkan
adzan. Ini artinya, muadzin harus hafal kapan saat-saat shalat, yang
setiap harinya bisa bergeser beberapa menit.
Untuk
syarat yang terakhir ini sekarang tergolong mudah. Di mana-mana ada jam,
dan di setiap masjid ada jadwal shalat abadi. Kalau untuk adzan maghrib,
orang dapat pula mendengar dari radio atau televisi – yang biasanya hanya
mengacu pada kota tertentu dan sekitarnya. Tetapi dulu, seorang muadzin
wajib mengetahui sendiri saat-saat shalat. Karena saat-saat shalat
ditentukan oleh posisi matahari, maka seorang muadzin harus sedikit banyak tahu
tentang astronomi. Bahkan karena ilmu ini juga dibutuhkan untuk
mengetahui arah kiblat dan awal/akhir puasa, maka praktis seorang muadzin harus
seorang astronom! Untuk itulah, di masa lalu, semua muadzin wajib
memiliki sertifikasi (ijazah) ilmu falak dasar, yakni astronomi dasar untuk
persoalan jadwal shalat, puasa dan arah kiblat.

Kaum
Muslim telah berburu ilmu ke Barat (Mesir, Yunani) maupun ke Timur (Persia,
India), mengintegrasikannya, memperkuat dasar-dasarnya dan mengembangkan jauh
di atas para gurunya. Pusat penelitian astronomi Islam yang paling tua
bermula di kota Maragha. Maka dalam sejarah ilmu pengetahuan muncullah
“Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha” – sebuah revolusi saintifik
sebelum Rennaisance.
Ini berawal
ketika Khalifah al-Ma’mun memerintahkan untuk mendirikan sebuah observatorium
dan merekrut para astronom untuk melakukan pengumpulan data yang teliti guna
mengoreksi data yang telah ada hingga saat itu. Untuk itu para astronom
meminta bantuan ahli-ahli mekanik untuk membuatkan sebuah alat pengamatan
langit yang disebut astrolabs. Hasil-hasil pengamatan langit yang lebih
teliti ini menyelesaikan problem yang signifikan yang selalu timbul dalam model
langit geosentris Ptolomeus. Saat-saat tertentu, planet Mars tampak
seperti bergerak mundur (retrograde motion). Kalau saja model ini diubah
menjadi heliosentris, maka gerak mundur planet Mars itu mudah sekali dipahami,
yaitu tatkala bumi yang beredar mengelilingi matahari lebih cepat dari Mars, sedang
“menyalip” Mars. Tapi waktu itu, Ptolomeus yang percaya pada teori
geosentris, mencoba memecahkan problema itu dengan lingkaran-lingkaran tambahan
yang disebut episiklus. Tetapi episiklus-episiklus ini makin lama menjadi
makin rumit.
Maka
sejumlah astronom Muslim seperti Ibnu al-Haytsam dan Ibnu al-Syatir menekuni
kemungkinan bahwa bumi berputar pada porosnya serta kemungkinan adanya sistem
tata surya yang berpusat di matahari. Mereka membuat model planet non
Ptolomeus. Sedang Muayyaduddin Urdi secara total menolak model Ptolomeus
karena dasar empiris, tak hanya filosofis. Ini pendapat yang luar biasa
maju. Nicolaus Copernicus baru berani mengemukakan pendapat ini di Eropa
500 tahun kemudian. Buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus
ternyata banyak mengadaptasi model langit dari Ibnu al-Syatir dan at-Tusi dari
madzhab Maragha. Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi juga senada
dengan karya Ali al-Qusyji.
Pada
abad-21 ini, fenomena langit seputar tata surya sudah bukan teori lagi, tetapi
sudah menjadi fakta keras yang tidak dapat dibantah lagi. Manusia
berbagai bangsa sudah meluncurkan ribuan pesawat ruang angkasa dan satelit yang
mengorbit bumi. Terakhir, tahun 2009 para astronom dan insinyur
aeronautika Iran berhasil membuat satelit dan meluncurkannya dengan roket yang
dibuat sendiri tanpa pertolongan negara lain. Semua hasil eksperimen ini
terus membuktikan bahwa bumi memang berputar pada porosnya dan mengelilingi
matahari.
Anehnya,
di abad ini pula, justru ada sejumlah orang yang ghirah Islamnya tinggi kembali
meragukan pendapat bahwa bumi itu berputar pada porosnya dan mengelilingi
matahari. Mereka berpendapat, bumi itu diam, dan matahari, bulan dan
seluruh bintang-bintang beredar mengelilingi bumi. Mereka menganggap
pendapat ini didukung Alquran (antara lain QS 35:41, dan QS 21:33).
Padahal
kebenaran sebuah fenomena alam yang dapat diamati atau diukur sama sekali tidak
memerlukan dalil kitab suci manapun. Rupanya para astronom seribu tahun
yang lalu justru lebih jernih dalam memahami ayat Alquran sekaligus memahami
fenomena alam. Dengan itulah mereka dapat menjadikan astronomi sebagai
modal untuk memuliakan Islam dan kaum Muslim. Itu karena para astronom
itu berangkat dari seorang muadzin!
Abu
ar-Raihan al-Biruni menegaskan perbedaan antara astronomi dengan astrologi,
sehingga menekankan pengamatan empiris yang akurat dan eksperimen untuk
membuktikan kebenaran perhitungan astronomi. Akurasi data itu juga
membuat astrofisika dimulai. Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir setelah
ribuan pengamatannya memastikan bahwa benda-benda langit mengalami hukum fisika
yang sama seperti bumi. Sedang Ibnu al-Haytsam, sang penemu fisika optika
– yang menjadi dasar pembuatan lensa untuk teropong bintang - dari
pengamatannya memastikan, bahwa apa yang hingga saat itu diyakini sebagai
“lapisan-lapisan langit” ternyata bukanlah sesuatu yang padat, melainkan bahkan
kurang rapat dibanding udara. Jadi kalau di Alquran disebut “lapis langit
pertama sampai ketujuh”, maka itu pasti terletak di alam ghaib yang tidak dapat
diamati manusia. Di situlah, ketika sains berakhir, dimulailah keimanan.
0 komentar:
Posting Komentar